Kisah
ini diceritakan oleh Priyanka Kher, seorang wanita berdarah India yang
besar di Selandia Baru dan saat ini tinggal di Amerika Serikat. Priyanka
adalah kontributor pada beberapa media di internet, dan kali ini adalah
tulisannya untuk matadornetwork.com.
Ilustrasi/Meyda-Sefira/Google
Bandara John F. Kennedy, jam 1.00 Dini hari...
Wajahnya terlihat ramah, dan hal itulah yang membuat saya berani mendekatinya.
"Permisi, apakah kamu mau membantu mengawasi tas saya sebentar sementara saya pergi ke toilet?" tanya saya dengan sopan.
"Baiklah," jawabnya dengan senyum lebar.
Saat
itu jam 1.00 dini hari di Terminal 4 Bandara John F. Kennedy, di tempat
gerai makanan. Di waktu seperti ini sangat sedikit orang yang ada.
Hanya terlihat sekelompok anak muda, tiga pemuda dan dua gadis remaja
berbicara dengan bahasa yang saya tidak mengerti. Di sudut lain, lelaki
paruh baya sibuk berbicara di telepon genggamnya. Terlihat juga sepasang
calon penumpang sedang tidur di bangku panjang.
Saya
melihat sekeliling. Saya bersama Tanvi, buah hati saya yang baru
berusia 4 tahun. Oh, saya sangat khawatir, Tanvi masih terlalu kecil
untuk bisa memegang tasnya sendiri. Sementara saya ingin ke kamar kecil.
Kami harus bergegas. Tas kami tinggalkan dalam pengawasan gadis muda
yang duduk kira-kira berjarak dua meja dari tempat kami duduk. Ia asik
memerhatikan lembaran kertas di depannya.
Setelah kembali dari kamar kecil, saya berpikir sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri menghampiri gadis muda tersebut.
"Saya tidak meminumnya, lho," canda gadis muda tersebut saat saya memegang cangkir kopi yang ada di meja saya.
"Wow, terima kasih!" Jawab saya. Kami berdua lalu tertawa. Ah, hal ini telah mencairkan suasana yang sebelumnya terasa kaku.
"Mengapa kamu tidak ikut duduk di sini dengan saya?" tanyanya.
Saya pun akhirnya duduk bersamanya.
Ia
berasal dari Arab Saudi -- seperti yang ia bilang kemudian. Tepatnya
dari Jeddah. Saat ini sedang kuliah kedokteran di Karibia.
Saya
tahu ia seorang muslim karena mengenakan hijab. Ia sedang menunggu
penerbangan menuju Jenewa, tempat konferensi kesehatan berlangsung jam 7
malam esok.
"Jadi kamu akan menunggu di sini sampai tiba jadwal penerbanganmu?"
"Ya,
saya sering berpergian, jadi sudah terbiasa begadang seperti ini,"
sahutnya. Matanya membaca sejuta pertanyaan dalam benak saya.
Keluarganya ada di kampung halaman. Ia tinggal sendirian selama lima tahun belakangan ini.
Saya
mencoba mencerna ceritanya sambil bertanya-tanya dalam hati. Gadis ini,
seorang gadis muslim yang masih muda. Lahir dan berasal dari negara
Islam, lalu meninggalkan rumah di usia 18 tahun untuk kuliah, tinggal
sendiri, jauh dari rumah. Ia bahkan berkelana sendirian dan ada di
bandara tengah malam seperti ini?
"Apakah semua itu tak ada masalah?" tanya saya penuh penasaran.
"Maksudnya?" Ia seolah tak mengerti.
"Kamu
tahulah, semua yang kamu lakukan ini. Sepanjang yang saya tahu, wanita
di negaramu dilarang melakukan hal ini, memiliki kebebasan seperti ini.
Jadi saya penasaran apakah hal ini bukan sesuatu yang.... dilarang,"
sergah saya.
Ia terdiam beberapa saat. Oh, saya merasa pertanyaan saya terlau jauh menyasar ke hal-hal pribadi.
"Bagaimana yang kamu tahu?" tanyanya dengan serius.
Sekonyong-konyong
saya merasa sakit dan bodoh. Sejujurnya, saya sama sekali tidak tahu
apa-apa. Saya ternyata tidak tahu tentang wanita muslim kecuali dari apa
yang saya baca selama ini.
Saya
tak pernah pergi ke negara muslim. Tidak juga punya teman seorang
muslim sebelumnya. Jadi, yang saya dengar hanyalah pandangan stereotip
tentang islam.
"Well, hal itu yang selama ini kami dengar," saya menjawabnya, walau kemudian saya menyadari jawaban ini terdengar bodoh.
"Jangan
percaya segala hal yang kamu dengar," jawabnya. "Reputasi negara saya
dan pandangan terhadap agama saya soal perempuan adalah menyesatkan.
Tetapi selalu ada dua sisi untuk setiap koin. Saya ini tak bedanya
dengan wanita lain."
Ia kemudian tersenyum, "Tapi tak apa-apa, kamu bukan orang pertama yang menanyakan hal ini."
"Bagaimana dengan menggunakan hijab, apakah itu pilihan kamu juga?"
"Ya, tentu saja," sahutnya kemudian.
"Bukankah
itu semakin mengkategorikanmu seperti gambaran yang ada, terutama kalau
kamu ingin mematahkan semua pandangan negatif orang selama ini. Kamu
ingin menunjukkan era baru wanita Arab yang progresif dan modern, tapi
dengan menggunakan hijab berarti tidak bisa mematahkan belenggu
sepenuhnya."
Ia tertawa keras.
"Kamu
tahu, nggak," ia mulai menjelaskan, "Saya tidak punya misi untuk
mengubah apa pun. Saya begini apa adanya. Isi kepala saya memang
liberal, tapi saya tetap berakar pada budaya saya. Dua faktor ini saling
mengisi dalam hidup saya, melekat pada diri saya. Mengapa saya harus
melepaskan yang satu karena hal lain? "
Saat ini saya yang terdiam.
Kami
kemudian berbincang-bincang banyak hal. Ia menunjukkan foto keluarga
dari laptopnya. Rupanya ia gadis sulung dari tiga bersaudara. Adik
perempuan dan lelakinya tinggal di kampung halaman. Kedua orang tuanya
dokter, dan wajahnya terlihat ramah sekali. Ia begitu bahagia
menceritakan keluarganya.
Saatnya
saya harus pergi. Penerbangan saya dan Tanvi pulang ke Kansas pukul
6.00 pagi. Saya melihat ke luar jendela sementara Tanvi tertidur di
kereta dorong menuju bis yang membawa kami ke Terminal 7.
Di tangan saya ada secarik kertas yang ia tulis. Saya masih sempat membacanya kembali sekilas.
"Niloferr Khan Habibullah," begitulah ia menyebut namanya sambil tersenyum... sebelum kami berpisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar