Jika Anda mengunjungi Shibuya, pusat perbelanjaan terpadat di Tokyo, Anda mungkin akan menemukan sebuah patung anjing di salah satu pintu keluar stasiun. Patung ini didirikan untuk mengenang Hachiko, anjing ras Akita yang sangat terkenal akan kesetiaannya.
1923. Di musim dingin yang menggigit, diantara hamparan salju di Prefektur Akita, seekor anak anjing ditinggalkan oleh pemiliknya. Profesor Hidesaburo Ueno yang menemukan anak anjing ini merasa iba, dan membawanya pulang. Anak anjing yang imut dan lucu ini benar-benar menggemaskan dan membawakan kegembiraan hati bagi Profesor Ueno. Setiap hari Profesor selalu berbagi makanan dengannya, memandikannya dan merawatnya. Profesor memberikan nama “Hachiko” kepada anak anjing ini.
Hachiko pun sangat menyukai Profesor. Pada tahun 1924, Hachiko dibawa ke Tokyo oleh Profesor Ueno, yang memang mengajar jurusan pertanian di Universitas Tokyo. Setiap hari Profesor berangkat ke kampus menggunakan densha (kereta api) dari stasiun Shibuya. Setiap hari pula Hachiko selalu menemani Profesor berangkat ke stasiun Shibuya. Setelah Profesor berangkat, Hachiko pun akan pulang ke rumah dengan sendirinya, kemudian sore harinya, datang lagi ke stasiun Shibuya untuk menunggu kepulangan Profesor. Setiap kali Profesor turun dari densha, Hachiko pun terlihat telah menunggunya. Hachiko dan Profesor kemudian akan pulang ke rumah bersama-sama.
Demikianlah hari demi hari Hachiko selalu mengantarkan dan menemani Profesor Ueno.
Suatu hari, Profesor merasa kurang sehat. Walaupun demikian, Profesor tetap berangkat mengajar seperti biasanya. Hachiko pun, seperti biasanya, menemani Profesor berangkat ke stasiun Shibuya. Ketika sedang mengajar, Profesor tiba-tiba limbung dan terjatuh. Profesor Ueno mengalami serangan stroke. Murid-murid dan staf kampus yang kaget, segera membawa Profesor ke rumah sakit. Akan tetapi, nyawa Profesor tidak tertolong lagi.
Hachiko, sore harinya, seperti biasa berangkat lagi dari rumah ke stasiun Shibuya untuk menunggu kepulangan tuannya. Akan tetapi, kali ini, diantara kerumunan orang-orang yang turun dari densha, tidak ada sang Profesor. Hachiko terus menunggu dan menunggu, berharap sosok sang Profesor akan menghampirinya, dan bersama-sama pulang ke rumah.
Siang tergantikan malam. Akan tetapi, Profesor yang ditunggu-tunggu, tidak kunjung datang. Hachiko pun pulang kembali ke rumah.
Keesokan harinya, Hachiko datang lagi ke stasiun Shibuya, menunggu kepulangan sang Profesor. Akan tetapi, lagi-lagi Profesor yang dinanti-nantikan tak kunjung tiba.
Esok harinya, Hachiko datang lagi ke stasiun dan menunggu. Esoknya lagi… dan esoknya lagi. Tidak peduli hamparan salju yang membeku di musim dingin, maupun udara musim panas yang lembab dan gerah, setiap harinya Hachiko pasti selalu datang menunggu.
Para penumpang yang mengetahui bahwa Hachiko sedang menunggu tuannya yang tidak akan pernah kembali lagi, merasa simpati dan mencoba memberitahukan, “Hachiko, tuanmu tidak akan pernah kembali lagi, tidak perlu menunggu lagi.”
Akan tetapi, Hachiko tetap menunggu. Tanpa pernah absen seharipun, selama hampir 11 tahun, Hachiko tetap menunggu…
Suatu pagi, seorang petugas stasiun menemukan tubuh seekor anjing yang sudah kaku meringkuk di pojokan jalan. Anjing itu telah menjadi mayat. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya kepada tuannya pun terbawa sampai mati.
Warga yang mendengar kematian Hachiko pun berdatangan ke stasiun Shibuya. Mereka ingin menghormati untuk terakhir kalinya, menghormati arti dari sebuah kesetiaan yang kadang justru sulit ditemukan pada diri manusia.
Untuk mengenang Hachiko, warga pun membuat sebuah patung di dekat stasiun Shibuya. Jika Anda mengunjungi Shibuya, Anda akan menemukan patung Hachiko di sisi utara stasiun Shibuya saat ini.
Sampai saat ini pun, sekitaran patung Hachiko suka dijadikan tempat janjian bertemu oleh orang-orang ataupun sepasang kekasih. Mereka berharap akan ada kesetiaan seperti yang telah dicontohkan oleh Hachiko saat mereka menunggu maupun berjanji untuk datang.
Oleh orang Jepang, Hachiko dikenang dengan sebutan 忠犬ハチ公 (Chuuken Hachiko) yang berarti “Hachiko yang setia”.
(artikel ini pernah dimuat di majalah BVD — Juni 2009)
1923. Di musim dingin yang menggigit, diantara hamparan salju di Prefektur Akita, seekor anak anjing ditinggalkan oleh pemiliknya. Profesor Hidesaburo Ueno yang menemukan anak anjing ini merasa iba, dan membawanya pulang. Anak anjing yang imut dan lucu ini benar-benar menggemaskan dan membawakan kegembiraan hati bagi Profesor Ueno. Setiap hari Profesor selalu berbagi makanan dengannya, memandikannya dan merawatnya. Profesor memberikan nama “Hachiko” kepada anak anjing ini.
Hachiko pun sangat menyukai Profesor. Pada tahun 1924, Hachiko dibawa ke Tokyo oleh Profesor Ueno, yang memang mengajar jurusan pertanian di Universitas Tokyo. Setiap hari Profesor berangkat ke kampus menggunakan densha (kereta api) dari stasiun Shibuya. Setiap hari pula Hachiko selalu menemani Profesor berangkat ke stasiun Shibuya. Setelah Profesor berangkat, Hachiko pun akan pulang ke rumah dengan sendirinya, kemudian sore harinya, datang lagi ke stasiun Shibuya untuk menunggu kepulangan Profesor. Setiap kali Profesor turun dari densha, Hachiko pun terlihat telah menunggunya. Hachiko dan Profesor kemudian akan pulang ke rumah bersama-sama.
Demikianlah hari demi hari Hachiko selalu mengantarkan dan menemani Profesor Ueno.
Suatu hari, Profesor merasa kurang sehat. Walaupun demikian, Profesor tetap berangkat mengajar seperti biasanya. Hachiko pun, seperti biasanya, menemani Profesor berangkat ke stasiun Shibuya. Ketika sedang mengajar, Profesor tiba-tiba limbung dan terjatuh. Profesor Ueno mengalami serangan stroke. Murid-murid dan staf kampus yang kaget, segera membawa Profesor ke rumah sakit. Akan tetapi, nyawa Profesor tidak tertolong lagi.
Hachiko, sore harinya, seperti biasa berangkat lagi dari rumah ke stasiun Shibuya untuk menunggu kepulangan tuannya. Akan tetapi, kali ini, diantara kerumunan orang-orang yang turun dari densha, tidak ada sang Profesor. Hachiko terus menunggu dan menunggu, berharap sosok sang Profesor akan menghampirinya, dan bersama-sama pulang ke rumah.
Siang tergantikan malam. Akan tetapi, Profesor yang ditunggu-tunggu, tidak kunjung datang. Hachiko pun pulang kembali ke rumah.
Keesokan harinya, Hachiko datang lagi ke stasiun Shibuya, menunggu kepulangan sang Profesor. Akan tetapi, lagi-lagi Profesor yang dinanti-nantikan tak kunjung tiba.
Esok harinya, Hachiko datang lagi ke stasiun dan menunggu. Esoknya lagi… dan esoknya lagi. Tidak peduli hamparan salju yang membeku di musim dingin, maupun udara musim panas yang lembab dan gerah, setiap harinya Hachiko pasti selalu datang menunggu.
Para penumpang yang mengetahui bahwa Hachiko sedang menunggu tuannya yang tidak akan pernah kembali lagi, merasa simpati dan mencoba memberitahukan, “Hachiko, tuanmu tidak akan pernah kembali lagi, tidak perlu menunggu lagi.”
Akan tetapi, Hachiko tetap menunggu. Tanpa pernah absen seharipun, selama hampir 11 tahun, Hachiko tetap menunggu…
Suatu pagi, seorang petugas stasiun menemukan tubuh seekor anjing yang sudah kaku meringkuk di pojokan jalan. Anjing itu telah menjadi mayat. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya kepada tuannya pun terbawa sampai mati.
Warga yang mendengar kematian Hachiko pun berdatangan ke stasiun Shibuya. Mereka ingin menghormati untuk terakhir kalinya, menghormati arti dari sebuah kesetiaan yang kadang justru sulit ditemukan pada diri manusia.
Untuk mengenang Hachiko, warga pun membuat sebuah patung di dekat stasiun Shibuya. Jika Anda mengunjungi Shibuya, Anda akan menemukan patung Hachiko di sisi utara stasiun Shibuya saat ini.
Sampai saat ini pun, sekitaran patung Hachiko suka dijadikan tempat janjian bertemu oleh orang-orang ataupun sepasang kekasih. Mereka berharap akan ada kesetiaan seperti yang telah dicontohkan oleh Hachiko saat mereka menunggu maupun berjanji untuk datang.
Oleh orang Jepang, Hachiko dikenang dengan sebutan 忠犬ハチ公 (Chuuken Hachiko) yang berarti “Hachiko yang setia”.
(artikel ini pernah dimuat di majalah BVD — Juni 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar