Kamis, 13 September 2012

Cerita dari Maluku; Episode 1 – Perjalanan Ke Negeri Rempah

15 Feb. Di malam yang tak terlalu sunyi, aku mencatat perjalanan hari ini untukmu. Mungkin engkau sudah tidur, buah hatiku! Mimpilah untuk masa depan yang terindah bagi kehidupan kita. Aku hendak tuturkan padamu tentang negeri penghasil rempah yang kini penuh koyakan luka.
Ketika 10 menit sebelum pesawat Merpati mendarat di Bandara Pattimura, Laha, tampaklah laut nan biru itu ombaknya enggo lari (berkejar-kejaran). Tanjung Alang berada di sebelah kiri pesawat dan Tanjung Nusaniwe berada di sebelah kanannya, seperti pintu gerbang memasuki teluk Ambon. Konon, kedua tanjung itu dapat mengatup jika didoakan secara adat. Aku belum mendapat penuturan asal usul ceriteranya. Sementara, pesawat kian dekat dengan tanah, perbukitan Laha masih juga gersang seperti 3 tahun lalu.
Kujejakkan kakiku di P. Ambon pada pukul 12.30 waktu setempat. Panas matahari, yang konon sekitar 33*C, terasa sakit di kulit. Laki-laki berkulit gelap berebut kami untuk menawarkan jasa pengambilan bagasi. Para penumpang tak dibenarkan mengambil bagasinya sendiri oleh kebutuhan hidup kuli jasa itu. Aku mengupah Rp 10.000,- untuk 4 bagasi milik rombongan kami bertiga, sampai ke taksi. Seorang teman dari Ambon yang sama-sama berangkat dari Jakarta telah menunggu beberapa lama, karena pesawatnya tiba terlebih dahulu. Jadi, sekarang terdapat dua trayek penerbangan ke Ambon yang dilayani maskapai Merpati dan Kartika. Keduanya tinggal landas dari bandara Sukarno-Hatta antara pukul 05.00 – 05.45 WIB dan mendarat di bandara Pattimura pukul 12.30 untuk Merpati.
Kami naik taksi. Jangan disamakan dengan taksi Jakarta, nak. Di sini hanyalah berupa sedan tua yang berkarat. Kami turun di Hative Besar, sekitar 10 menit dari Bandara. Perjalanan kami teruskan dengan speed boot, menyeberangi Teluk Ambon. Tiga tahun lalu, aku masih dapat menempuh jalan darat mengitari teluk Ambon menuju ke kota. Kini, tak mungkin lagi dilakukan jika ingin selamat. Daratan itu melewati desa Islam, Kristen, Islam, Kristen, yang sangat merepotkan apa pun agama penumpang dan sopir. Mataku berkeliling ke arah bukit-bukit P. Ambon yang bagaikan benteng. Mungkin Belanda membangun benteng di wilayah Leitimor (sebutan untuk P. Ambon Selatan) di kota Ambon, karena factor topografi seperti itu. “Seperti Cape Town di Afrika”, komentar temanku. Selama 15 menit kami berlayar dan merapat di Benteng (wilayah Kristen). Kami dipungut Rp 40.000,- karena speed itu kami carter. Pada umumnya penumpang yang menyeberang dari Hative Besar ke Benteng dipungut Rp 2000/orang. Satu speed memuat 20 orang.
Ketika speed merapat di Benteng, laki-laki muda berlarian mengambil barang-barang kami. Satu sama lain berebut. Akhirnya ada empat kuli yang membawakannya. Kau tahu, nak, tiga tahun lalu kita tak menjumpai orang Ambon menjadi kuli. Sumber nafkah dari angkutan pelayaran ini merupakan lapangan kerja paska konflik. Sempat pula terjadi baku mulut sesama sopir angkutan kota karena para kuli itu menempatkan barang kami di angkot paling belakang. Sopir yang terdepan marah karena dianggap menyerobot antriannya. Temanku yang baru pertama kali kemari, merasa ngeri ditatap oleh mata yang tajam, penuh curiga, dan jika berbicara seperti sedang berbaku mulut. “Mereka tampak seperti curiga terhadap orang yang tak dikenal”, komentarnya.
Angkutan kota berwarna kuning itu menyusuri wilayah Benteng. Kami melewati pos militer, seperti marinir, paskhas, dan kodim, termasuk pos polisi. Di Mardika (konflik pertama meletus di sini), aku menjumpai pasar “kaget” Kristen (pasar darurat paska konflik) berada di atas pedestrian yang, kata teman-teman, harga-harganya lebih mahal daripada pasar “kaget” Islam. Contohnya, harga seikat kangkung mencapai Rp 2500,-, dua helai seledri sampai Rp 1000,- Tiga tahun lalu, orang Ambon masih belanja ke pasar permanen, dan orang-orang Buton menjadi pedagangnya. Kini, pasar semacam itu telah rata tanah dan orang Ambon mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan mendirikan tenda-tenda sebagai pasar. Sebelum konflik, khususnya orang Ambon Kristen, tak sudi menjadi pedagang pasar (bakulan). Padanan orang Kristen Ambon adalah Kaum Priyayi Jawa. Mereka malu mencari nafkah dengan cara berdagang dan merasa terhormat jika menjadi pegawai negeri. Sebaliknya, orang Islam Ambon sedikit memiliki tradisi berdagang senada dengan orang Buton dan Makasar. Kini, para pedagang Buton dan Makassar terusir dan mengungsi ke daerah nenek moyangnya (kembali). Konflik telah mengubah pola pencarian nafkah. Orang “gunung” pun beralih ke “laut”.
Limabelas menit kemudian, kami berhenti di Hotel Manise berbintang 3 di wilayah Tanah Tinggi, bertetangga dengan wilayah rawan konflik, seperti Mardika, Batu Merah, Soya Kecil. Di depan hotel terdapat pos militer, dan kulihat tubuh-tubuh kekar berbalut seragam hijau loreng berkeliaran. Selama konflik berlangsung hanya dua hotel, yakni hotel ini dan hotel Amans, yang ?diselamat?kan dari kehancuran. Kami disambut oleh tulisan “Pariwisata Menciptakan Kedamaian. Damai itu Indah”, yang ditulis pada spanduk berwarna hijau “tentara”. Itu kalimat khasnya militer Indonesia: kata-katanya tanpa makna, menyesatkan dan menyalahi kaidah berbahasa. Aku menjumpai wajah-wajah pengusaha dan pejabat sipil dan militer di sini. Tarif kamar hotel terlalu mahal untuk ukuranku. Mulai dari Rp 450.000,- untuk suite sampai Rp 50.000,- untuk ukuran melati. Temanku dari Ambon memesankan kamar de luxe untuk kami (kayak ukuran standar di Jakarta), dengan fasilitas AC dan kamar mandi shower. Kamarku nomor 307. Hotel ini dilengkapi dengan fasilitas salon.
Sebenarnya aku ingin segera makan ikan dan kuah colo-colo, yakni ikan cakalang yang dipanggang dan dimakan dengan kuah yang terdiri dari air, jeruk cina, irisan bawang merah dan cabe. Tapi yang tersedia porsinya terlalu besar untukku. Aku lalu memilih kepiting, supaya siang ini dapat makan dengan lahap karena nanti malam kami mulai bekerja dalam tim. Malam ini kami bekerja di kantor Baileo. Terutama untuk mempersiapkan pengorganisasian tim kerja.
Kau tahu, nak, sejak menapak di tanah Ambon, orang memanggilku usi (mbak) Uthe. Sedangkan temanku mendapat panggilan bu (mas) Egy. Orang Maluku merasa kasar untuk memanggil nama resmi dan mereka selalu menggunakan nama panggilan. Contohnya, nama Ruth akan dipanggil Uthe, nama Dominggus akan dipanggil Doni. Di Baileo ada seorang perempuan yang bicaranya sangat cepat dalam logat Saparua yang kental. Aku harus membiasakan diri untuk memahami ucapannya. Ia masuk ke ruang kami berkumpul, sambil berkacak pinggang ia angkat bicara :”Eh, kalian mau hidup selamat atau pulang sekarang ke hotel! Uthe, tinggal saja itu kerja , katong (kita) kembali ke hotel atau tidur sini!”. Aku baru menyadari jam telah menunjuk pukul 01.00 waktu setempat. Ada banyak sweeping di jalan yang dilakukan masing-masing kelompok agama. Akhirnya kami berkemas ke hotel. Dua orang anggota tim numpang tidur di kamarku. Ternyata perkataan usi tadi benar. Di tengah tidurku, aku terbangun oleh suara baku mulut di depan hotel. Tampaknya ada orang yang masuk wilayah ini dan dikejar oleh orang setempat. Keadaan sangat gaduh dan menegangkan. Terdengar bunyi tembakan Tadi sore kudengar ada orang yang tinggal di Kudamati (kampung asal usul preman Ambon) terkena ranjau!
Mataku sulit terpejam, dan seperti biasa, waspada menghadapi berbagai kemungkinan. Besok, delegasi Ambon yang mengikuti Perundingan Malino II tiba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar