15
Feb. Di malam yang tak terlalu sunyi, aku mencatat perjalanan hari ini
untukmu. Mungkin engkau sudah tidur, buah hatiku! Mimpilah untuk masa
depan yang terindah bagi kehidupan kita. Aku hendak tuturkan padamu
tentang negeri penghasil rempah yang kini penuh koyakan luka.
Ketika 10 menit sebelum pesawat Merpati mendarat di Bandara
Pattimura, Laha, tampaklah laut nan biru itu ombaknya enggo lari
(berkejar-kejaran). Tanjung Alang berada di sebelah kiri pesawat dan
Tanjung Nusaniwe berada di sebelah kanannya, seperti pintu gerbang
memasuki teluk Ambon. Konon, kedua tanjung itu dapat mengatup jika
didoakan secara adat. Aku belum mendapat penuturan asal usul
ceriteranya. Sementara, pesawat kian dekat dengan tanah, perbukitan Laha
masih juga gersang seperti 3 tahun lalu.
Kujejakkan kakiku di P. Ambon pada pukul 12.30 waktu setempat. Panas
matahari, yang konon sekitar 33*C, terasa sakit di kulit. Laki-laki
berkulit gelap berebut kami untuk menawarkan jasa pengambilan bagasi.
Para penumpang tak dibenarkan mengambil bagasinya sendiri oleh kebutuhan
hidup kuli jasa itu. Aku mengupah Rp 10.000,- untuk 4 bagasi milik
rombongan kami bertiga, sampai ke taksi. Seorang teman dari Ambon yang
sama-sama berangkat dari Jakarta telah menunggu beberapa lama, karena
pesawatnya tiba terlebih dahulu. Jadi, sekarang terdapat dua trayek
penerbangan ke Ambon yang dilayani maskapai Merpati dan Kartika.
Keduanya tinggal landas dari bandara Sukarno-Hatta antara pukul 05.00 –
05.45 WIB dan mendarat di bandara Pattimura pukul 12.30 untuk Merpati.
Kami naik taksi. Jangan disamakan dengan taksi Jakarta, nak. Di sini
hanyalah berupa sedan tua yang berkarat. Kami turun di Hative Besar,
sekitar 10 menit dari Bandara. Perjalanan kami teruskan dengan speed
boot, menyeberangi Teluk Ambon. Tiga tahun lalu, aku masih dapat
menempuh jalan darat mengitari teluk Ambon menuju ke kota. Kini, tak
mungkin lagi dilakukan jika ingin selamat. Daratan itu melewati desa
Islam, Kristen, Islam, Kristen, yang sangat merepotkan apa pun agama
penumpang dan sopir. Mataku berkeliling ke arah bukit-bukit P. Ambon
yang bagaikan benteng. Mungkin Belanda membangun benteng di wilayah
Leitimor (sebutan untuk P. Ambon Selatan) di kota Ambon, karena factor
topografi seperti itu. “Seperti Cape Town di Afrika”, komentar temanku.
Selama 15 menit kami berlayar dan merapat di Benteng (wilayah Kristen).
Kami dipungut Rp 40.000,- karena speed itu kami carter. Pada umumnya
penumpang yang menyeberang dari Hative Besar ke Benteng dipungut Rp
2000/orang. Satu speed memuat 20 orang.
Ketika speed merapat di Benteng, laki-laki muda berlarian mengambil
barang-barang kami. Satu sama lain berebut. Akhirnya ada empat kuli yang
membawakannya. Kau tahu, nak, tiga tahun lalu kita tak menjumpai orang
Ambon menjadi kuli. Sumber nafkah dari angkutan pelayaran ini merupakan
lapangan kerja paska konflik. Sempat pula terjadi baku mulut sesama
sopir angkutan kota karena para kuli itu menempatkan barang kami di
angkot paling belakang. Sopir yang terdepan marah karena dianggap
menyerobot antriannya. Temanku yang baru pertama kali kemari, merasa
ngeri ditatap oleh mata yang tajam, penuh curiga, dan jika berbicara
seperti sedang berbaku mulut. “Mereka tampak seperti curiga terhadap
orang yang tak dikenal”, komentarnya.
Angkutan kota berwarna kuning itu menyusuri wilayah Benteng. Kami
melewati pos militer, seperti marinir, paskhas, dan kodim, termasuk pos
polisi. Di Mardika (konflik pertama meletus di sini), aku menjumpai
pasar “kaget” Kristen (pasar darurat paska konflik) berada di atas
pedestrian yang, kata teman-teman, harga-harganya lebih mahal daripada
pasar “kaget” Islam. Contohnya, harga seikat kangkung mencapai Rp
2500,-, dua helai seledri sampai Rp 1000,- Tiga tahun lalu, orang Ambon
masih belanja ke pasar permanen, dan orang-orang Buton menjadi
pedagangnya. Kini, pasar semacam itu telah rata tanah dan orang Ambon
mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan mendirikan tenda-tenda
sebagai pasar. Sebelum konflik, khususnya orang Ambon Kristen, tak sudi
menjadi pedagang pasar (bakulan). Padanan orang Kristen Ambon adalah
Kaum Priyayi Jawa. Mereka malu mencari nafkah dengan cara berdagang dan
merasa terhormat jika menjadi pegawai negeri. Sebaliknya, orang Islam
Ambon sedikit memiliki tradisi berdagang senada dengan orang Buton dan
Makasar. Kini, para pedagang Buton dan Makassar terusir dan mengungsi ke
daerah nenek moyangnya (kembali). Konflik telah mengubah pola pencarian
nafkah. Orang “gunung” pun beralih ke “laut”.
Limabelas menit kemudian, kami berhenti di Hotel Manise berbintang 3
di wilayah Tanah Tinggi, bertetangga dengan wilayah rawan konflik,
seperti Mardika, Batu Merah, Soya Kecil. Di depan hotel terdapat pos
militer, dan kulihat tubuh-tubuh kekar berbalut seragam hijau loreng
berkeliaran. Selama konflik berlangsung hanya dua hotel, yakni hotel ini
dan hotel Amans, yang ?diselamat?kan dari kehancuran. Kami disambut
oleh tulisan “Pariwisata Menciptakan Kedamaian. Damai itu Indah”, yang
ditulis pada spanduk berwarna hijau “tentara”. Itu kalimat khasnya
militer Indonesia: kata-katanya tanpa makna, menyesatkan dan menyalahi
kaidah berbahasa. Aku menjumpai wajah-wajah pengusaha dan pejabat sipil
dan militer di sini. Tarif kamar hotel terlalu mahal untuk ukuranku.
Mulai dari Rp 450.000,- untuk suite sampai Rp 50.000,- untuk ukuran
melati. Temanku dari Ambon memesankan kamar de luxe untuk kami (kayak
ukuran standar di Jakarta), dengan fasilitas AC dan kamar mandi shower.
Kamarku nomor 307. Hotel ini dilengkapi dengan fasilitas salon.
Sebenarnya aku ingin segera makan ikan dan kuah colo-colo, yakni ikan
cakalang yang dipanggang dan dimakan dengan kuah yang terdiri dari air,
jeruk cina, irisan bawang merah dan cabe. Tapi yang tersedia porsinya
terlalu besar untukku. Aku lalu memilih kepiting, supaya siang ini dapat
makan dengan lahap karena nanti malam kami mulai bekerja dalam tim.
Malam ini kami bekerja di kantor Baileo. Terutama untuk mempersiapkan
pengorganisasian tim kerja.
Kau tahu, nak, sejak menapak di tanah Ambon, orang memanggilku usi
(mbak) Uthe. Sedangkan temanku mendapat panggilan bu (mas) Egy. Orang
Maluku merasa kasar untuk memanggil nama resmi dan mereka selalu
menggunakan nama panggilan. Contohnya, nama Ruth akan dipanggil Uthe,
nama Dominggus akan dipanggil Doni. Di Baileo ada seorang perempuan yang
bicaranya sangat cepat dalam logat Saparua yang kental. Aku harus
membiasakan diri untuk memahami ucapannya. Ia masuk ke ruang kami
berkumpul, sambil berkacak pinggang ia angkat bicara :”Eh, kalian mau
hidup selamat atau pulang sekarang ke hotel! Uthe, tinggal saja itu
kerja , katong (kita) kembali ke hotel atau tidur sini!”. Aku baru
menyadari jam telah menunjuk pukul 01.00 waktu setempat. Ada banyak
sweeping di jalan yang dilakukan masing-masing kelompok agama. Akhirnya
kami berkemas ke hotel. Dua orang anggota tim numpang tidur di kamarku.
Ternyata perkataan usi tadi benar. Di tengah tidurku, aku terbangun oleh
suara baku mulut di depan hotel. Tampaknya ada orang yang masuk wilayah
ini dan dikejar oleh orang setempat. Keadaan sangat gaduh dan
menegangkan. Terdengar bunyi tembakan Tadi sore kudengar ada orang yang
tinggal di Kudamati (kampung asal usul preman Ambon) terkena ranjau!
Mataku sulit terpejam, dan seperti biasa, waspada menghadapi berbagai
kemungkinan. Besok, delegasi Ambon yang mengikuti Perundingan Malino II
tiba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar