Burung garuda yang digantungi perisai itu ialah lambang tenaga pembangun. Dikenal dalam peradaban Nusantara, mitos yang dilukiskan di Candi Dieng, Prambanan, dan Panataran. Ada kalanya dengan memakai gambaran berupa manusia dengan berparuh burung dan bersayap, sebagaimana di Dieng yang sangat mirip dengan gambaran dewa Horus di Mesir. Kemudian di Candi Prambanan dan Sukuh rupanya seperti burung dengan paruh panjang yang melambangkan proses perjalanan kepada keabadian.
Meskipun rupanya agak berbeda, tetapi ide dan konsepnya sama dengan mitos burung Phoenix yang menjadi salah satu dari sekian banyak simbol Freemasonry. Sedangkan untuk bendera negara yang terdiri dari merah-putih, oleh penyuka teori-teori secret society, symbology, elite system, dan sebagainya, merah-putih merupakan alegori mistik lambang papan catur hitam-putih dalam tradisi Freemason yang ide dasarnya diambil dari floor checkered. Bentuk alegori lainnya seperti biru-putih pada bendera Israel. Dan masih banyak lagi hidangan permainan simbol semacam ini, terutama yang diperuntukkan bagi Indonesia dan pondasi-pondasi negaranya.
Gerakan pemuda seperti Boedi Oetomo atau perkumpulan Jong dari berbagai propinsi, sejatinya adalah senjata kelompok Freemason atau dalam bahasa Belanda Vrijmetselarij yang turut berperan dalam proses kemerdekaan Indonesia, di mana kemerdekaan Indonesia sendiri bukanlah karena murni berdasarkan ide kemerdekaan yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 45. Melainkan atas gagasan untuk menjadikan Indonesia sebagai lahan perah bagi kepentingan Freemason. Mengapa? Karena sejumlah tokoh bangsa adalah anggota perkumpulan tersebut.
Monsterverbond adalah kelompok elit dalam VOC yang terdiri dari tiga pilar seperti disimbolkan dalam lambang mason. Dua pilar utama yang melambangkan pilar Jachin dan Boaz adalah gerbang menuju pilar selanjutnya dalam simbol kuil Solomon yang disebut altar batu. Monsterverbond dalam VOC digerakkan oleh dua orang asing dan seorang pribumi. Sejatinya Monsterverbond yang menjadi elit penggerak dalam VOC adalah bagian dari kelompok Freemasonry atau Vrijmetselarij. Dalam sejarah Indonesia pola ini terus menerus dipertahankan. Oleh karena itu banyak tokoh-tokoh di era awal kemerdekaan Indonesia juga masuk dalam kelompok Freemasonry ini, dan tanpa pernah ditulis di buku-buku sejarah sekolahan, merupakan rekanan dengan tokoh-tokoh VOC.
Perisai pada dada Garuda serupa dengan perisai-perisai di beberapa negara yang dikendalikan oleh Freemason, seperti contohnya Inggris. Atau jauh ke belakang sama halnya dengan lambang Ksatria Templar yang kerap diasosiakan dengan pemuja setan yang menyembah Dajjal. Lambang bintang lima di dada Garuda adalah simbol kepala Baphomet, kambing jantan jelmaan iblis. Sengaja ditaruh terbalik untuk mengaburkan bintang pentagram tersebut. Adapun lambang rantai merupakan simbol untuk garis darah (bloodline) kelompok Illuminati atau sejenisnya yang menjaga (gatekeeper) keberlangsungan gerakan Freemason. Pohon Beringin adalah simbol pohon Sephiroth dalam tradisi mistik Kabbalah. Kepala Banteng adalah simbol sapi Samiri yang menjadi sesembahan orang Yahudi ketika Moses meninggalkannya. Dan terakhir adalah padi dan kapas yang tidak ada bedanya dengan zaitun dan gandum yang digenggam Elang Amerika Serikat, simbol kesuburan atau sumber kehidupan utama kehidupan manusia yang dijadikan lahan perah, atau sumber daya yang harus dihisap dan dikendalikan oleh Freemason. Intinya adalah Garuda Pancasila dianggap murni representasi simbol-simbol Freemason, Knight Templar, Illuminati, dan sebagainya yang dianggap sebagai pengikut Dajjal.
Berikut di atas adalah sebagian kecil dari tudingan kelompok-kelompok penggemar teori konspirasi seputar Freemasonry, Illuminati, Anti-Kristus, dan sebagainya. Kalau di Indonesia fenomena semacam ini kadang dikaitkan dengan propaganda meninggalkan bentuk negara dan sistem pemerintahan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45, sambil mengelukan serta mengusung ideologi Negara Islam. Entah dengan berkedok organisasi dan atas nama apapun, yang telah banyak disebarluaskan di Indonesia. Karena mereka berpendapat bahwa cengkraman Freemason di Indonesia begitu kuat, saking kuatnya telah menghapuskan 7 kata sakral dari Piagam Jakarta sebagai cikal bakal Pancasila, dan menjadikan Pancasila sebagai poros ideologi sekuler utama untuk Indonesia. Termasuk dengan bentuk NKRI yang telah final ini ialah hasil rekayasa kesesatan yang sangat gamblang.
Tapi kalau melihat tradisi besarnya adalah adanya pertarungan global antara berbagai macam kepentingan, atau kasarnya mirip era perang dingin antara blok Timur dan Barat dahulu. Demikian pula saat ini, macam-macam kepentingan saling bersaing, yang satunya mengimpikan Tatanan Dunia Baru yang mengacu kepada Novus Ordo Seclorum, sedangkan yang lain menegakkan sistem Kekhalifahan dunia. Sementara orang-orang Indonesia berada di posisi tradisi kecil yang selalu diombang-ambingkan oleh corong-corong kepentingan itu melalui berbagai media. Ada televisi, radio, buku, internet, dan lain-lain.
Persis seperti diutarakan oleh Pierre Bourdieu bahwa ruang publik merupakan arena atau wadah produksi kultural. Di dalam suatu arena ada modal (capital) yang digunakan para agen, aktor atau pelaku. Capital tidak selalu identik dengan modal berupa material. Tapi bisa berbentuk kemampuan tertentu yang dimiliki agen, seperti kemampuan intelektual atau kemampuan menulis. Jika agen memiliki capital yang besar sesuai dengan hukum dan kultural arenanya, maka ia akan dapat lebih unggul dibandingkan lainnya. Dalam pertemuan antara satu agen dengan agen yang lain, terdapat istilah yang disebut arena. Arena pun bermacam-macam. Bourdieu menyebutkan beberapa arena dalam penjelasannya yaitu arena ekonomi, pendidikan, politik, dan kultural.
Dalam pandangan Alberto Melucci, konflik di abad ke-21 ini banyak disebabkan oleh aktor-aktor yang saling memerebutkan kontrol dalam domain publik maupun privat. Dan senjata paling ampuh adalah penggunaan cultural codes, sistem tanda, produksi informasi, atau apa yang disebut sebagai kuasa simbolik dalam istilah Bourdieu. Dengan carut marutnya pertarungan sistem tanda ini, Baudrillard mengindikasikan bahwa manusia telah memasuki kondisi hiperrealitas. Implikasinya kalau mau ditarik pada ranah mikro ke dalam sebuah negara semisal Indonesia, atau lebih spesifik rakyat Indonesia, yakni seperti yang kita saksikan sekarang ini; situasi politik yang penuh dengan kegamangan. Contohnya adalah kita masih sibuk membicarakan persoalan bentuk negara, dasar negara, lambang negara dan sebagainya.
So what? Apakah rakyat negeri ini akan terus mau diombang-ambingkan dalam sebuah simulasi realitas yang penuh pertarungan sistem tanda ini. Antara masing-masing komunitas saling bersaing dengan produksi kultural mereka. Tapi pertanyaannya adalah apakah kita mau menyerahkan diri untuk sengaja berada dalam kondisi kefanatikan terhadap masing-masing pihak atau kepentingan yang kita bela atau yakini? Seperti kondisi di era perang dingin antara Sekutu dan Soviet, kita dipaksa memilih dua kekuatan dan dipaksa menjadi fanatik membela masing-masing pihak. Sekarang pun polanya sama atau sengaja dibiarkan sama, agar orang-orang yang menganggap diri mereka elit dari tiap kelompok dapat menjaring pengikut sebanyak-banyaknya demi menggolkan kepentingan mereka.
Sedangkan dalam arena pertarungan berbentuk elips bernama Bumi ini, manusia bisa menggunakan segala macam cara, baik persuasif maupun represif. Perang simbol atau perang senjata api. Entah kondisi hiperrealitas ini akan membawa manusia, terlebih orang-orang Indonesia ke arah mana. Tetapi biasanya orang yang terus bergantung pada sistem elitis, yakni menganggap elit (mensakralisasi) orang lain, atau institusi seperti lembaga politik atau agama, organisasi rahasia atau organisasi massa, tokoh-tokoh tertentu, dan sebagainya. Maka tujuan hidupnya cuma satu, berusaha masuk dalam lingkaran elit tersebut meski dengan segala cara ditempuhnya.
Nasib sebagai rakyat kebudayaan pinggiran, jadi terombang-ambing antara satu kebudayaan besar satu ke kebudayaan besar lain. Kapan ya jadi pemilik kebudayaan besar yang mempengaruhi dunia? (sumber:filsafat-kompasiana.com)
Pancasila Tidak Sakti Lagi, Bakal Tinggal Sejarah
Masih ingat sekali waktu zaman sekolahan dulu sering mengikuti upacara bendera dan bahkan menjadi pasukan pengibar bendera. Setiap kali upacara, merah putih dikibarkan, lagu Indonesia Raya berkumandang, dan Pancasila diteriakkan. Lalu bagaimana sekarang?
Masih ingatkah saudara-saudara tentang kejadian sejumlah orang yang menghalangi anak-anak SD untuk menyanyikan lagu Indonesia dan menghormati bendera? Tetapi itu terjadi di daerah di luar Jadebotabek. Namun, di Jadebotabek sendiri yang katanya miniatur Indonesia, lebih plural, dan sering dilebih-lebihkan dari daerah lain di Indonesia, ternyata di pesantren Wahabi tempat adik saya sekolah juga tidak mengadakan upacara bendera. Apalagi mengajarkan nilai-nilai yang terkandung dalam butir Pancasila. Ya, lebih tinggi ajaran agama daripada Pancasila. Intinya semua itu tidak penting. Bagi sebagian orang memang tidak penting. Mencintai Indonesia bukan dengan menyanyikan lagu kebangsaan, menghafal Pancasila, atau menghormati Bendera Merah Putih. Bahkan Ketua MUI Pusat terang-terangan menyampaikan bahwa menghormat bendera bukan dengan cara angkat tangan di kepala seperti itu (Barangkali juga mengharamkan). Partai-partai politik atau ormas pun juga tak wajib menggunakan asas Pancasila seperti zaman Orde Baru.
Terkadang saya tidak perduli lagi hal-hal semacam Pancasila, tetapi terkadang pula justru saya menganggapnya sangat penting. Kenapa? Kalau ingat waktu saya di Mesir, mendengar lagu dan Pancasila dikumandangkan saat upacara Agustusan di KBRI, saya merasakan sendiri rasa kebangsaan tersebut (kalau tidak mau dikatakan nasionalisme). Memandang merah putih sambil mengangkat tangan adalah sesuatu yang langka di negeri orang. Kadang saya berpendapat, mengapa pemerintah tidak menerapkan bahwa Pancasila adalah satu-satunya asas karena Pancasila adalah dasar negara. Sehingga ketika ditemui orang atau kelompok yang anti Pancasila seperti contoh sekolah-sekolah yang sebut di atas, dapat segera ditindak tegas. Atau mungkin mengkaji kembali ormas dan parpol yang tidak berasaskan Pancasila. Tetapi kadang saya juga beranggapan untuk apa menerapkan dasar negara sebagai satu-satunya asas, bukankah itu namanya pemaksaan kehendak.
Ya, pemaksaan kehendak. Ngapain jadi orang Indonesia harus memikirkan soal apakah ada upacara bendera atau tidak, apakah orang Indonesia hafal Pancasila atau tidak, dan sebagainya. Negara kan cuma negara, cuma batas teritorial yang kapan saja seseorang bisa pindah dengan bayar sejumlah uang serta mengurus dokumen administrasi. Dahulu ada orang bernama Soekarno yang dengan lantang menantang Kapitalisme dan Sosialisme dengan mencetuskan Pancasila. Namun kini Pancasila ditantang oleh Khilafah, ideologi yang katanya berasal dari Tuhan. Lantas apakah Pancasila masih sakti? Apakah bangsa ini masih berada di zaman perang ideologi?
Istilah kesaktian Pancasila pun ada karena propaganda Orde Lama dan Orde Baru. Karena diterapkan oleh rezim yang sering dibilang menindas rakyat. Lalu apakah masih perlu diperingati lagi di rezim reformasi ini? Tidak tahulah, jawabannya tergantung pembaca. Di antara seliweran ideologi, jargon, slogan yang berkembang di Indonesia, menurut saya Pancasila sudah tidak sakti lagi. Boro-boro tahu sejarahnya, masyarakat pun bisa ingat hari lahirnya saja sudah untung.
Pancasila… Oh, Pancasila. Nasibmu kini menyedihkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar